Monday, November 19, 2012

Bersyukur Dengan Yang Sedikit

Alhamdulillah, puji syukur pada Allah pemberi berbagai macam nikmat. Shalawat dan salam senantiasa dipanjatkan pada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Setiap saat kita telah mendapatkan nikmat yang banyak dari Allah, namun kadang ini terus merasa kurang, merasa sedikit nikmat yang Allah beri. Allah beri kesehatan yang jika dibayar amatlah mahal. Allah beri umur panjang, yang kalau dibeli dengan seluruh harta kita pun tak akan sanggup membayarnya. Namun demikianlah diri ini hanya menggap harta saja sebagai nikmat, harta saja yang dianggap sebagai rizki. Padahal kesehatan, umur panjang, lebih dari itu adalah keimanan, semua adalah nikmat dari Allah yang luar biasa.

Syukuri yang Sedikit
Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ
Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667).

Hadits ini benar sekali. Bagaimana mungkin seseorang dapat mensyukuri rizki yang banyak, rizki yang sedikit dan tetap terus Allah beri sulit untuk disyukuri? Bagaimana mau disyukuri? Sadar akan nikmat tersebut saja mungkin tidak terbetik dalam hati.

Kita Selalu Lalai dari 3 Nikmat
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa nikmat itu ada 3 macam.
Pertama, adalah nikmat yang nampak di mata hamba.
Kedua, adalah nikmat yang diharapkan kehadirannya.
Ketiga, adalah nikmat yang tidak dirasakan.

Ibnul Qoyyim menceritakan bahwa ada seorang Arab menemui Amirul Mukminin Ar Rosyid. Orang itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin. Semoga Allah senantiasa memberikanmu nikmat dan mengokohkanmu untuk mensyukurinya. Semoga Allah juga memberikan nikmat yang engkau harap-harap dengan engkau berprasangka baik pada-Nya dan kontinu dalam melakukan ketaatan pada-Nya. Semoga Allah juga menampakkan nikmat yang ada padamu namun tidak engkau rasakan, semoga juga engkau mensyukurinya.” Ar Rosyid terkagum-kagum dengan ucapan orang ini. Lantas beliau berkata, “Sungguh bagus pembagian nikmat menurutmu tadi.” (Al Fawa’id, Ibnul Qayyim, terbitan, Darul ‘Aqidah, hal. 165-166).

Itulah nikmat yang sering kita lupakan. Kita mungkin hanya tahu berbagai nikmat yang ada di hadapan kita, semisal rumah yang mewah, motor yang bagus, gaji yang wah, dsb. Begitu juga kita senantiasa mengharapkan nikmat lainnya semacam berharap agar tetap istiqomah dalam agama ini, bahagia di masa mendatang, hidup berkecukupan nantinya, dsb. Namun, ada pula nikmat yang mungkin tidak kita rasakan, padahal itu juga nikmat.

Kesehatan Juga Nikmat
Bayangan kita barangkali, nikmat hanyalah uang, makanan dan harta mewah. Padahal kondisi sehat yang Allah beri dan waktu luang pun nikmat. Bahkan untuk sehat jika kita bayar butuh biaya yang teramat mahal. Namun demikianlah nikmat yang satu ini sering kita lalaikan.
Dua nikmat ini seringkali dilalaikan oleh manusia –termasuk pula hamba yang faqir ini-. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”. (HR. Bukhari no. 6412, dari Ibnu ‘Abbas)

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, ”Seseorang tidaklah dikatakan memiliki waktu luang hingga badannya juga sehat. Barangsiapa yang memiliki dua nikmat ini (yaitu waktu senggang dan nikmat sehat), hendaklah ia bersemangat, jangan sampai ia tertipu dengan meninggalkan syukur pada Allah atas nikmat yang diberikan. Bersyukur adalah dengan melaksanakan setiap perintah dan menjauhi setiap larangan Allah. Barangsiapa yang luput dari syukur semacam ini, maka dialah yang tertipu.”  (Dinukil dari Fathul Bari, 11/230)

Rizki Tidak Hanya Identik dengan Uang
Andai kita dan seluruh manusia bersatu padu membuat daftar nikmat Allah, niscaya kita akan mendapati kesulitan. Allah Ta’ala berfirman,

وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ الإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ(  إبراهيم
Dan Dia telah memberimu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat lalim dan banyak mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34).

Bila semua yang ada pada kita, baik yang kita sadari atau tidak, adalah rizki Allah tentu semuanya harus kita syukuri. Namun bagaimana mungkin kita dapat mensyukurinya bila ternyata mengakuinya sebagai nikmat atau rejeki saja tidak?

Saudaraku! kita pasti telah membaca dan memahami bahwa kunci utama langgengnya kenikmatan pada diri anda ialah sikap syukur nikmat. Dalam ayat suci Al Qur’an yang barangkali kita pernah mendengarnya disebutkan,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7).

Alih-alih mensyukuri nikmat, menyadarinya saja tidak. Bahkan dalam banyak kesempatan bukan hanya  tidak menyadarinya, akan tetapi malah mengingkari dan mencelanya. Betapa sering kita mencela angin, panas matahari, hujan dan berbagai nikmat Allah lainnya?

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Al Fudhail bin ‘Iyadh mengisahkan: “Pada suatu hari Nabi Dawud ‘alaihissalam berdoa kepada Allah: Ya Allah, bagaimana mungkin aku dapat mensyukuri nikmat-Mu, bila ternyata sikap syukur itu juga merupakan kenikmatan dari-Mu? Allah menjawab doa Nabi Dawud ‘alaihissalam dengan berfirman: “Sekarang engkau benar-benar telah mensyukuri nikmat-Mu, yaitu ketika engkau telah menyadari bahwa segala nikmat adalah milikku.” (Dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir)
Imam As Syafii berkata, “Segala puji hanya milik Allah yang satu saja dari nikmat-Nya tidak dapat disyukuri kecuali dengan menggunakan nikmat baru dari-Nya. Dengan demikian nikmat baru tersebutpun harus disyukuri kembali, dan demikianlah seterusnya.”  (Ar Risalah oleh Imam As Syafii 2)
Wajar bila Allah Ta’ala menjuluki manusia dengan sebutan “sangat lalim dan banyak mengingkari nikmat, sebagaimana disebutkan pada ayat di atas dan juga pada ayat berikut,

وَهُوَ الَّذِي أَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ إِنَّ الْإِنسَانَ لَكَفُورٌ
Dan Dialah Allah yang telah menghidupkanmu, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (lagi), sesungguhnya manusia itu, benar-benar sering mengingkari nikmat.” (QS. Al Hajj: 66)

Artinya di sini, rizki Allah amatlah banyak dan tidak selamanya identik dengan uang. Hujan itu pun rizki, anak pun rizki dan kesehatan pun rizki dari Allah.

Surga dan Neraka pun Rizki yang Kita Minta
Sebagian kita menyangka bahwa rizki hanyalah berputar pada harta dan makanan. Setiap meminta dalam do’a mungkin saja kita berpikiran seperti itu. Perlu kita ketahui bahwa rizki yang paling besar yang Allah berikan pada hamba-Nya adalah surga (jannah). Inilah yang Allah janjikan pada hamba-hamba-Nya yang sholeh. Surga adalah nikmat dan rizki yang tidak pernah disaksikan oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah tergambarkan dalam benak pikiran. Setiap rizki yang Allah sebutkan bagi hamba-hamba-Nya, maka umumnya yang dimaksudkan adalah surga itu sendiri. Hal ini sebagaimana maksud dari firman Allah Ta’ala,

لِيَجْزِيَ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Supaya Allah memberi Balasan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. mereka itu adalah orang-orang yang baginya ampunan dan rezki yang mulia.” (QS. Saba’: 4)

وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا قَدْ أَحْسَنَ اللهُ لَهُ رِزْقًا
Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 11)

Teruslah bersyukur atas nikmat dan rizki yang Allah beri, apa pun itu meskipun sedikit. Yang namanya bersyukur adalah dengan meninggalkan saat dan selalu taat pada Allah. Abu Hazim mengatakan, “Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.” Mukhollad bin Al Husain mengatakan, “Syukur adalah dengan meninggalkan maksiat.” (‘Iddatush Shobirin, hal. 49, Mawqi’ Al Waroq)

Wallahu waliyyut taufiq.

@ KSU, Riyadh KSA
After Zhuhur, 3rd Dzulqo’dah 1432 H (01/10/2011)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Diluaskan dan Disempitkan Rizki

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Risalah berikut akan sedikit berbicara tentang masalah rizki. Nasehat ini pun tidak perlu jauh-jauh ditujukan pada orang lain. Sebenarnya yang lebih pantas adalah nasehat ini ditujukan pada diri kami sendiri supaya selalu bisa ridho dengan takdir ilahi dalam hal rizki.

Ayat yang patut direnungkan adalah firman Allah Ta’ala,

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
 (16)
Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“. (QS. Al Fajr: 15-16)

Penjelasan Para Ulama
Ath Thobari rahimahullah menjelaskan, “Adapun manusia ketika ia diuji oleh Rabbnya dengan diberi nikmat dan kekayaan, yaitu dimuliakan dengan harta dan kemuliaan serta diberi nikmat yang melimpah, ia pun katakan, “Allah benar-benar telah memuliakanku.” Ia pun bergembira dan senang, lantas ia katakan, “Rabbku telah memuliakanku dengan karunia ini.”[1]

Kemudian Ath Thobari rahimahullah menjelaskan, “Adapun manusia jika ia ditimpa musibah oleh Rabbnya dengan disempitkan rizki, yaitu rizkinya tidak begitu banyak, maka ia pun katakan bahwa Rabbnya telah menghinakan atau merendahkannya. Sehingga ia pun tidak bersyukur atas karunia yang Allah berikan berupa keselamatan anggota badan dan rizki berupa nikmat sehat pada jasadnya.”[2]

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengingkari orang yang keliru dalam memahami maksud Allah meluaskan rizki. Allah sebenarnya menjadikan hal itu sebagai ujian. Namun dia menyangka dengan luasnya rizki tersebut, itu berarti Allah memuliakannya. Sungguh tidak demikian, sebenarnya itu hanyalah ujian. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لا يَشْعُرُونَ
Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 55-56)

Sebaliknya, jika Allah menyempitkan rizki, ia merasa bahwa Allah menghinangkannya. Sebenarnya tidaklah sebagaimana yang ia sangka. Tidaklah seperti itu sama sekali. Allah memberi rizki itu bisa jadi pada orang yang Dia cintai atau pada yang tidak Dia cintai. Begitu pula Allah menyempitkan rizki pada pada orang yang Dia cintai atau pun tidak.  Sebenarnya yang jadi patokan ketika seseorang dilapangkan dan disempitkan rizki adalah dilihat dari ketaatannya pada Allah dalam dua keadaan tersebut. Jika ia adalah seorang yang berkecukupan, lantas ia bersyukur pada Allah dengan nikmat tersebut, maka inilah yang benar. Begitu pula ketika ia serba kekurangan, ia pun bersabar.”[3]

Antara Mukmin dan Kafir
Sifat yang disebutkan dalam surat ini (Al Fajr ayat 15-16) adalah sifat orang kafir. Maka sudah patut untuk dijauhi oleh seorang muslim.
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Sifat yang disebutkan dalam (Al Fajr ayat 15-16) adalah sifat orang kafir yang tidak beriman pada hari berbangkit. Sesungguhnya kemuliaan yang dianggap orang kafir adalah dilihat pada banyak atau sedikitnya harta. Sedangkan orang muslim, kemuliaan menurutnya adalah dilihat pada ketaatan pada Allah dan bagaimana ia menggunakan segala nikmat untuk tujuan akhirat. Jika Allah memberi rizki baginya di dunia, ia pun memuji Allah dan bersyukur pada-Nya.”[4]

Syukuri dan Bersabar
Pahamilah! Tidak perlu merasa iri hati dengan rizki orang lain. Kita dilapangkan rizki, itu adalah ujian. Kita disempitkan rizki, itu pula ujian. Dilapangkan rizki agar kita diuji apakah termasuk orang yang bersyukur atau tidak. Disempitkan rizki agar kita diuji termasuk orang yang bersabar ataukah tidak. Maka tergantung kita dalam menyikapi rizki yang Allah berikan. Tidak perlu bersedih jika memang kita tidak ditakdirkan mendapatkan rizki sebagaimana saudara kita. Allah tentu saja mengetahui manakah yang terbaik bagi hamba-Nya. Cobalah pula kita perhatikan bahwa rizki dan nikmat bukanlah pada harta saja. Kesehatan badan, nikmat waktu senggang, bahkan yang terbesar dari itu yaitu nikmat hidayah Islam dan Iman, itu pun termasuk nikmat yang patut disyukuri. Semoga bisa jadi renungan berharga.

Ya Allah, karuniakanlah pada kami sebagai orang yang pandai besyukur dan bersabar pada-Mu dalam segala keadaan, susah maupun senang.

Sungguh nikmat diberikan taufik untuk merenungkan Al Qur’an. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Disusun di Sakan 27, kamar 202, KSU, Riyadh, Saudi Arabia saat ba’da Maghrib
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id


[1] Tafsir Ath Thobari, Ibnu Jarir Ath Thobari, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H, 24/412[2] Idem.
[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 14/347
[4] Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an, Al Qurthubi, Tahqiq: Dr. ‘Abdullah bin Al Hasan At Turki, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1427 H, 22/.

Tampakkanlah Nikmat Allah

Bagian syukur dari nikmat adalah dengan menampakkan nikmat tersebut secara lahiriyah. Bukan malah kita menjadi orang pelit dan pura-pura “kere” (miskin). Kalau memang Allah beri kelapangan rizki, nampakkanlah nikmat tersebut pada makanan dan pakaian kita.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Adh Dhuha: 11).

Berikut beberapa pendapat ulama mengenai ayat di atas.
Dari Abu Nadhroh, ia berkata,

كان المسلمون يرون أن من شكر النعم أن يحدّث بها.
“Dahulu kaum muslimin menganggap dinamakan mensyukuri nikmat adalah dengan seseorang menyiarkan (menampakkan) nikmat tersebut.” Diriwayatkan oleh Ath Thobari dalam kitab tafsirnya, Jaami’ Al Bayaan ‘an Ta’wili Ayyil Qur’an (24: 491).

Al Hasan bin ‘Ali berkata mengenai ayat di atas,

ما عملت من خير فَحَدث إخوانك
“Kebaikan apa saja yang kalian perbuat, maka siarkanlah pada saudara kalian.” Disebutkan oleh Ibnu Katsir, dari Laits, dari seseorang, dari Al Hasan bin ‘Ali (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 387).

Tentu saja nikmat atau kebaikan disampaikan pada orang lain jika mengandung maslahat, bukan dalam rangka menyombongkan diri dan pamer atau ingin cari muka (cari pujian, alias “riya’ “). Lihat perkataan Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam kitab tafsirnya, “Yang dimaksud dalam ayat tersebut mencakup nikmat din (akhirat) maupun nikmat dunia. Adapun “fahaddits” bermakna “pujilah Allah atas nikmat tersebut”. Bentuk syukur di sini adalah dengan lisan dan disebut khusus dalam ayat, dibolehkan jika memang mengandung maslahat. Namun boleh juga penampakkan nikmat ini secara umum (tidak hanya dengan lisan). Karena menyebut-nyebut nikmat Allah adalah tanda seseorang bersyukur. Perbuatan semacam ini membuat hati seseorang semakin cinta pada pemberi nikmat (yaitu Allah Ta’ala). Itulah tabiat hati yang selalu mencintai orang yang berbuat baik padanya.” (Taisir Al Karimir Rahman, 928)
Ulama besar dari negeri ‘Unaizah, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dalam tafsir Juz ‘Amma menjelaskan, “Tahadduts ni’mah (menyebut-nyebut nikmat Allah) adalah dengan ditampakkan yaitu dilakukan dalam rangka syukur kepada pemberi nikmat (yaitu Allah Ta’ala), bukan dalam rangka menyombongkan diri pada yang lain. Karena jika hal itu dilakukan karena sombong, maka itu jadi tercela.”
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah memberikan penjelasan menarik tentang ayat di atas. Beliau rahimahullah berkata, “Allah memerintahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyebut-nyebut nikmat yang Allah berikan. Nikmat itu disyukuri dengan ucapan dan juga ditampakkan dengan amalan. Tahadduts ni’mah (menyiarkan nikmat) dalam ayat tersebut berarti seperti seorang muslim mengatakan, “Alhamdulillah, saya dalam keadaan baik. Saya memiliki kebaikan yang banyak. Allah memberi saya nikmat yang banyak. Aku bersyukur pada Allah atas nikmat tersebut.”
Tidak baik seseorang mengatakan dirinya itu miskin (fakir), tidak memiliki apa-apa. Seharusnya ia bersyukur pada Allah dan tahadduts ni’mah (siarkan nikmat tersebut). Hendaklah ia yakin bahwa kebaikan tersebut Allah-lah yang memberi. Jangan ia malah menyebut-nyebut dirinya itu tidak memiliki harta dan pakaian. Janganlah mengatakan seperti itu. Namun hendaklah ia menyiarkan nikmat yang ada, lalu ia bersyukur pada Allah Ta’ala. Jika Allah memberi pada seseorang nikmat, hendaklah ia menampakkan nikmat tersebut dalam pakaian, makanan dan minumnya. Itulah yang Allah suka. Jangan menampakkan diri seperti orang miskin (kere). Padahal Allah telah memberi dan melapangkan harta. Jangan pula ia berpakaian atau mengonsumsi makanan seperti orang kere (padahal keadaan  dirinya mampu, pen). Yang seharusnya dilakukan adalah menampakkan nikmat Allah dalam makanan, minuman dan pakaiannya. Namun hal ini jangan dipahami bahwa kita diperintahkan untuk berlebih-lebihan, melampaui batas dan boros.” [Majmu’ Fatawa wa Maqolaat Mutanawwi’ah, juz ke-4, http://www.ibnbaz.org.sa/mat/32]

Semoga kita diberi taufik untuk merealisasikan syukur kepada Allah.

Wallahu waliyyut taufiq.

@ Ummul Hamam, Riyadh KSA
28 Dzulqo’dah 1432 H (26/10/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Referensi:
  1. Tafsir Ath Thobari Jaami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayil Qur’an, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thobari, terbitan Dar Hijr.
  2. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Ismail bin Katsir Ad Dimasyqi, terbitan Muassasah Qurthubah.
  3. Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Mannan, ‘Abdurrahman bin Naashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.
  4. Tafsir Juz ‘Amma, Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, Asy Syamilah.
  5. Mawqi’ Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, www.ibnbaz.org.sa.

Syukur di Kala Meraih Sukses


Di kala impian belum terwujud, kita selalu banyak memohon dan terus bersabar menantinya. Namun di kala impian sukses tercapai, kadang kita malah lupa daratan dan melupakan Yang Di Atas yang telah memberikan berbagai kenikmatan. Oleh karenanya, apa kiat ketika kita telah mencapai hasil yang kita idam-idamkan? Itulah yang sedikit akan kami kupas dalam tulisan sederhana  ini.

Akui Setiap Nikmat Berasal dari-Nya
Inilah yang harus diakui oleh setiap orang yang mendapatkan nikmat. Nikmat adalah segala apa yang diinginkan dan dicari-cari. Nikmat ini harus diakui bahwa semuanya berasal dari Allah Ta’ala dan jangan berlaku angkuh dengan menyatakan ini berasal dari usahanya semata atau ia memang pantas mendapatkannya. Coba kita renungkan firman Allah Ta’ala,

لا يَسْأَمُ الإنْسَانُ مِنْ دُعَاءِ الْخَيْرِ وَإِنْ مَسَّهُ الشَّرُّ فَيَئُوسٌ قَنُوطٌ

Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan.” (QS. Fushshilat: 49). Atau pada ayat lainnya,

وَإِذَا أَنْعَمْنَا عَلَى الْإِنْسَانِ أَعْرَضَ وَنَأَى بِجَانِبِهِ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَاءٍ عَرِيضٍ

Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa.” (QS. Fushshilat: 51)

Inilah tabiat manusia, yang selalu tidak sabar jika ditimpa kebaikan atau kejelekan. Ia akan selalu berdo’a pada Allah agar diberikan kekayaan, harta, anak keturunan, dan hal dunia lainnya yang ia cari-cari. Dirinya tidak bisa merasa puas dengan yang sedikit. Atau jika sudah diberi lebih pun, dirinya akan selalu menambah lebih. Ketika ia ditimpa malapetaka (sakit dan kefakiran), ia pun putus asa. Namun lihatlah bagaimana jika ia mendapatkan nikmat setelah itu? Bagaimana jika ia diberi kekayaan dan kesehatan setelah itu? Ia pun lalai dari bersyukur pada Allah, bahkan ia pun melampaui batas sampai menyatakan semua rahmat (sehat dan kekayaan) itu didapat karena ia memang pantas memperolehnya. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala,

وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ رَحْمَةً مِنَّا مِنْ بَعْدِ ضَرَّاءَ مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ هَذَا لِي
Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: “Ini adalah hakku.”(QS. Fushshilat: 50)

Sifat orang beriman tentu saja jika ia diberi suatu nikmat dan kesuksesan yang ia idam-idamkan, ia pun bersyukur pada Allah. Bahkan ia pun khawatir jangan-jangan ini adalah istidroj (cobaan yang akan membuat ia semakin larut dalam kemaksiatan yang ia terjang). Sedangkan jika hamba tersebut tertimpa musibah pada harta dan anak keturunannya, ia pun bersabar dan berharap karunia Allah agar lepas dari kesulitan serta ia tidak berputus asa.[1]

Ucapkanlah “Tahmid”
Inilah realisasi berikutnya dari syukur yaitu menampakkan nikmat tersebut dengan ucapan tahmid (alhamdulillah) melalui lisan. Ini adalah sesuatu yang diperintahkan sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS. Adh Dhuha: 11)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ ، وَتَرْكُهَا كُفْرٌ
Membicarakan nikmat Allah termasuk syukur, sedangkan meninggalkannya merupakan perbuatan kufur.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahih Al Jaami’ no. 3014).

Lihat pula bagaimana impian Nabi Ibrahim tercapai ketika ia memperoleh anak di usia senja. Ketika impian tersebut tercapai, beliau pun memperbanyak syukur pada Allah sebagaimana do’a beliau ketika itu,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاءِ
Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. ” (QS. Ibrahim: 39).

Para ulama salaf ketika mereka merasakan nikmat Allah berupa kesehatan dan lainnya, lalu mereka ditanyakan, “Bagaimanakah keadaanmu di pagi ini?” Mereka pun menjawab, “Alhamdulillah (segala puji hanyalah bagi Allah).”[2]

Oleh karenanya, hendaklah seseorang memuji Allah dengan tahmid (alhamdulillah) atas nikmat yang diberikan tersebut. Ia menyebut-nyebut nikmat ini karena memang terdapat maslahat dan bukan karena ingin berbangga diri atau sombong. Jika ia malah melakukannya dengan sombong, maka ini adalah suatu hal yang tercela.[3]

Memanfaatkan Nikmat dalam Amal Ketaatan
Yang namanya syukur bukan hanya berhenti pada dua hal di atas yaitu mengakui nikmat tersebut pada Allah dalam hati dan menyebut-nyebutnya dalam lisan, namun hendaklah ditambah dengan yang satu ini yaitu nikmat tersebut hendaklah dimanfaatkan dalam ketaaatan pada Allah dan menjauhi maksiat.
Contohnya adalah jika Allah memberi nikmat dua mata. Hendaklah nikmat tersebut dimanfaatkan untuk membaca dan mentadaburi Al Qur’an, jangan sampai digunakan untuk mencari-cari aib orang lain dan disebar di tengah-tengah kaum muslimin. Begitu pula nikmat kedua telinga. Hendaklah nikmat tersebut dimanfaatkan untuk mendengarkan lantunan ayat suci, jangan sampai digunakan untuk mendengar lantunan yang sia-sia. Begitu pula jika seseorang diberi kesehatan badan, maka hendaklah ia memanfaatkannya untuk menjaga shalat lima waktu, bukan malah meninggalkannya. Jadi, jika nikmat yang diperoleh oleh seorang hamba malah dimanfaatkan untuk maksiat, maka ini bukan dinyatakan sebagai syukur.

Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Katsir berkata, sebagai penduduk Hijaz berkata, Abu Hazim mengatakan,
كل نعمة لا تقرب من الله عز وجل، فهي بلية.
“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.”[4]
Mukhollad bin Al Husain mengatakan,

الشكر ترك المعاصي
“Syukur adalah dengan meninggalkan maksiat.”[5]

Intinya, seseorang dinamakan bersyukur ketika ia memenuhi 3 rukun syukur: [1]  mengakui nikmat tersebut secara batin (dalam hati), [2] membicarakan nikmat tersebut secara zhohir (dalam lisan), dan [3] menggunakan nikmat tersebut pada tempat-tempat yang diridhoi Allah (dengan anggota badan).
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan,

وَأَنَّ الشُّكْرَ يَكُونُ بِالْقَلْبِ وَاللِّسَانِ وَالْجَوَارِحِ
Syukur haruslah dijalani dengan mengakui nikmat dalam hati, dalam lisan dan menggunakan nikmat tersebut dalam anggota badan.[6]

Merasa Puas dengan Rizki Yang Allah Beri
Karakter asal manusia adalah tidak puas dengan harta. Hal ini telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai haditsnya. Ibnu Az Zubair pernah berkhutab di Makkah, lalu ia mengatakan,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَقُولُ « لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِىَ وَادِيًا مَلأً مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا ، وَلَوْ أُعْطِىَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا ، وَلاَ يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ »
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6438)

Inilah watak asal manusia. Sikap seorang hamba yang benar adalah selalu bersyukur dengan nikmat dan rizki yang Allah beri walaupun itu sedikit. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ
Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667)

Dan juga mesti kita yakini bahwa rizki yang Allah beri tersebut adalah yang terbaik bagi kita karena seandainya Allah melebihkan atau mengurangi dari yang kita butuh, pasti kita akan melampaui batas dan bertindak kufur. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.(QS. Asy Syuraa: 27)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh, tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.” Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan, “Akan tetapi Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.”[7]

Patut diingat pula bahwa nikmat itu adalah segala apa yang diinginkan seseorang. Namun apakah nikmat dunia berupa harta dan lainnya adalah nikmat yang hakiki? Para ulama katakan, tidak demikian. Nikmat hakiki adalah kebahagiaan di negeri akhirat kelak. Tentu saja hal ini diperoleh dengan beramal sholih di dunia. Sedangkan nikmat dunia yang kita rasakan saat ini hanyalah nikmat sampingan semata. Semoga kita bisa benar-benar merenungkan hal ini.[8]

Jadilah Hamba yang Rajin Bersyukur
Pandai-pandailah mensyukuri nikmat Allah apa pun itu. Karena keutamaan orang yang bersyukur amat luar biasa. Allah Ta’ala berfirman,

وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imron: 145)

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.” (QS. Ibrahim: 7)

Ya Allah, anugerahkanlah kami sebagai hamba -Mu yang pandai bersyukur pada-Mu dan selalu merasa cukup dengan segala apa yang engkau beri.

Diselesaikan atas taufik Allah di Pangukan-Sleman, 23 Rabi’ul Akhir 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Memahami Syukur

Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan seluruh kaum muslimin yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah beliau sampai hari kiamat.
Kaum muslimin yang kami muliakan, sesungguhnya segala kebaikan dan kenikmatan yang ada pada kita adalah karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:

 وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ (53)

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…” (QS. An-Nahl: 53)

Betapa melimpahnya kenikmatan yang Allah Ta’ala berikan kepada kita, yang tidak terhingga jumlahnya. Allah memberikan kita kehidupan, kesehatan, makanan, minuman, pakaian dan begitu banyak nikmat yang lainnya. Jika kita berusaha menghitung nikmat yang Allah karuniakan kepada kita, niscaya kita tidak akan mampu menghitungnya. Allah Ta’ala berfirman:

وَإِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا (18)

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.”
(QS. An-Nahl: 18).

Kebaikan Yang Hakiki Hanya Ada Pada Seorang Mukmin
Kaum muslimin yang kami muliakan, seorang muslim sejati tidak pernah terlepas dari tiga keadaan yang merupakan tanda kebahagiaan baginya, yaitu bila dia mendapat nikmat maka dia bersyukur, bila mendapat kesusahan maka dia bersabar, dan bila berbuat dosa maka dia beristighfar. (Qowa’idul Arba’, hal. 01)
Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Bagaimanapun keadaannya, dia tetap masih bisa meraih pahala yang banyak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2999 dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu).

Kelapangan Hidup Merupakan Bagian Dari Ujian
Merupakan sunnatullah bahwasanya Allah Ta’ala telah menentukan ujian dan cobaan bagi para hamba-Nya. Mereka akan diuji dengan berbagai macam ujian, baik dengan sesuatu yang disenangi oleh jiwa berupa kemudahan dalam hidup atau kelapangan rizki, dan juga akan diuji dengan perkara yang tidak mereka sukai, berupa kemiskinan, kesulitan, musibah atau yang lainnya.
Allah Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ (35)

“Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35)

‘Abdullah ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Maksudnya, Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan maksiat, serta petunjuk dan kesesatan. (Tafsiir ath-Thabari, IX/26, no. 24588).
Inilah sunnatullah yang berlaku pada para hamba-Nya. Oleh karena itulah, kita melihat manusia ini berbeda kondisi kehidupannya. Ada yang hidup dengan harta yang melimpah, fasilitas dan kedudukan. Ada juga yang ditakdirkan hidup sederhana lagi pas-pasan. Bahkan ada juga yang hidup fakir miskin dan tidak punya apa-apa.

Segala nikmat yang Allah berikan kepada kita adalah ujian bagi kita, apakah kita akan menjadi hamba-Nya yang bersyukur ataukah menjadi orang yang kufur. Sungguh benar apa yang diucapkan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihis salam tatkala mendapatkan nikmat, beliau mengatakan

هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّيْ لِيَبْلُوَنِيْ أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّيْ غَنِيٌّ كَرِيْمٌ (40)

“Ini termasuk karunia dari Rabb-ku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur ataukah mengingkari (nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabb-ku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An-Naml: 40).

Syukur Adalah Sifat Mulia Para Nabi
Sesungguhnya para nabi dan rasul ‘alaihimush sholatu was salam adalah manusia pilihan Rabb semesta alam, yang diutus ke dunia sebagai suri tauladan bagi umatnya. Mereka adalah manusia terdepan dalam setiap amal kebajikan. Salah satu sifat yang sangat menonjol pada mereka adalah senantiasa bersyukur terhadap nikmat yang telah Allah limpahkan pada mereka. Allah Ta’ala banyak menceritakan keutamaan mereka dalam al-Qur’an sebagai teladan bagi kita. Allah ‘Azza wa Jalla menyanjung Nabi Nuh ‘alaihis salam dengan firman-Nya:
إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُوْرًا (3)

“Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (QS. Isra’: 3)

Al-Bukhari dan Muslim menceritakan di dalam kitab Shahih-nya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun shalat malam hingga kedua kaki beliau bengkak. Lalu istri beliau, yaitu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya, ”Mengapa Anda melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang dulu maupun yang akan datang?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا

”Tidak pantaskah jika aku menjadi hamba yang bersyukur?” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4837 dan Muslim, no. 2820)

Hakikat Syukur
Syukur adalah akhlaq yang mulia, yang muncul karena kecintaan dan keridho’an yang besar terhadap Sang Pemberi Nikmat. Syukur tidak akan mungkin bisa terwujud jika tidak diawali dengan keridho’an. Seseorang yang diberikan nikmat oleh Allah walaupun sedikit, tidak mungkin akan bersyukur kalau tidak ada keridho’an. Orang yang mendapatkan penghasilan yang sedikit, hasil panen yang minim atau pendapatan yang pas-pasan, tidak akan bisa bersyukur jika tidak ada keridho’an. Demikian pula orang yang diberi kelancaran rizki dan harta yang melimpah, akan terus merasa kurang dan tidak akan bersyukur jika tidak diiringi keridho’an.

Kaum muslimin yang kami muliakan, syukur yang sebenarnya tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan “alhamdulillah”. Namun hendaknya seorang hamba bersyukur dengan hati, lisan dan anggota badannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, “Syukur (yang sebenarnya) adalah dengan hati, lisan dan anggota badan. (Minhajul Qosidin, hal. 305)

Adapun tugasnya hati dalam bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah

Pertama : Mengakui dan meyakini bahwa nikmat tersebut semata-mata datangnya dari Allah Ta’ala dan bukan dari selain-Nya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…” (QS. An-Nahl: 53). Meskipun bisa jadi kita mendapatkan nikmat itu melalui teman kita, aktivitas jual beli, bekerja atau yang lainnya, semuanya itu adalah hanyalah perantara untuk mendapatkan nikmat.  

Kedua : Mencintai Allah Ta’ala yang telah memberikan semua nikmat itu kepada kita.

Ketiga : Meniatkan untuk menggunakan nikmat itu di jalan yang Allah ridhai.

Adapun tugasnya lisan adalah memuji dan menyanjung Dzat yang telah memberikan nikmat tersebut pada kita. Sementara tugasnya anggota badan adalah menggunakan nikmat tersebut untuk mentaati Dzat yang kita syukuri (yaitu Allah Ta’ala) dan menahan diri agar jangan menggunakan kenikmatan itu untuk bermaksiat kepada-Nya.

Semoga Allah Ta’ala memberikan pertolongan-Nya kepada kita untuk mensyukuri nikmat-Nya dan menjadikan kita hamba-Nya yang pandai bersyukur.

Penulis: dr. Muhaimin Ashuri
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar, MA
Artikel www.muslim.or.id

Rahasia Syukur, Sabar, dan Istighfar

Dalam mukaddimah kitab Al Waabilush Shayyib, Imam Ibnul Qayyim mengulas tiga hal di atas dengan sangat mengagumkan. Beliau mengatakan bahwa kehidupan manusia berputar pada tiga poros: Syukur, Sabar, dan Istighfar. Seseorang takkan lepas dari salah satu dari tiga keadaan:

1- Ia mendapat curahan nikmat yang tak terhingga dari Allah, dan inilah mengharuskannya untuk bersyukur. Syukur memiliki tiga rukun, yang bila ketiganya diamalkan, berarti seorang hamba dianggap telah mewujudkan hakikat syukur tersebut, meski kuantitasnya masih jauh dari ‘cukup’. Ketiga rukun tersebut adalah: a- Mengakui dalam hati bahwa nikmat tersebut dari Allah. b-Mengucapkannya dengan lisan. c-Menggunakan kenikmatan tersebut untuk menggapai ridha Allah, karena Dia-lah yang memberikannya.

Inilah rukun-rukun syukur yang mesti dipenuhi
 2- Atau, boleh jadi Allah mengujinya dengan berbagai ujian, dan kewajiban hamba saat itu ialah bersabar. Definisi sabar itu sendiri meliputi tiga hal: a-Menahan hati dari perasaan marah, kesal, dan dongkol terhadap ketentuan Allah. b-Menahan lisan dari berkeluh kesah dan menggerutu akan takdir Allah. c-Menahan anggota badan dari bermaksiat seperti menampar wajah, menyobek pakaian, (atau membanting pintu, piring) dan perbuatan lain yang menunjukkan sikap ‘tidak terima’ thd keputusan Allah.
Perlu kita pahami bahwa Allah menguji hamba-Nya bukan karena Dia ingin membinasakan si hamba, namun untuk mengetes sejauh mana penghambaan kita terhadap-Nya. Kalaulah Allah mewajibkan sejumlah peribadatan (yaitu hal-hal yang menjadikan kita sebagai abdi/budak-nya Allah) saat kita dalam kondisi lapang; maka Allah juga mewajibkan sejumlah peribadatan kala kita dalam kondisi sempit.
Banyak orang yang ringan untuk melakukan peribadatan tipe pertama, karena biasanya hal tersebut selaras dengan keinginannya. Akan tetapi yang lebih penting dan utama adalah peribadatan tipe kedua, yang sering kali tidak selaras dengan keinginan yang bersangkutan.

Ibnul Qayyim lantas mencontohkan bahwa berwudhu di musim panas menggunakan air dingin; mempergauli isteri cantik yang dicintai, memberi nafkah kepada anak-isteri saat banyak duit; adalah ibadah. Demikian pula berwudhu dengan sempurna dengan air dingin di musim dingin dan menafkahi anak-isteri saat kondisi ekonomi terjepit, juga termasuk ibadah; tapi nilainya begitu jauh antara ibadah tipe pertama dengan ibadah tipe kedua. Yang kedua jauh lebih bernilai dibandingkan yang pertama, karena itulah ibadah yang sesungguhnya, yang membuktikan penghambaan seorang hamba kepada Khaliqnya.
Oleh sebab itu, Allah berjanji akan mencukupi hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman Allah,
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
Bukankah Allah-lah yang mencukupi (segala kebutuhan) hamba-Nya?” (QS. Az Zumar: 36).
Tingkat kecukupan tersebut tentulah berbanding lurus dengan tingkat penghambaan masing-masing hamba. Makin tinggi ia memperbudak dirinya demi kesenangan Allah yang konsekuensinya harus mengorbankan kesenangan pribadinya, maka makin tinggi pula kadar pencukupan yang Allah berikan kepadanya. Akibatnya, sang hamba akan senantiasa dicukupi oleh Allah dan termasuk dalam golongan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ وَكَفَى بِرَبِّكَ وَكِيلًا
(Sesungguhnya, engkau (Iblis) tidak memiliki kekuasaan atas hamba-hamba-Ku, dan cukuplah Rabb-mu (Hai Muhammad) sebagai wakil (penolong)” (QS. Al Isra’: 65).
Hamba-hamba yang dimaksud dalam ayat ini adalah hamba yang mendapatkan pencukupan dari Allah dalam ayat sebelumnya, yaitu mereka yang benar-benar menghambakan dirinya kepada Allah, baik dalam kondisi menyenangkan maupun menyusahkan. Inilah hamba-hamba yang terjaga dari gangguan syaithan, alias syaithan tidak bisa menguasai mereka dan menyeret mereka kepada makarnya, kecuali saat hamba tersebut lengah saja.

Sebab bagaimana pun juga, setiap manusia tidak akan bebas 100% dari gangguan syaithan selama dia adalah manusia. Ia pasti akan termakan bisikan syaithan suatu ketika. Namun bedanya, orang yang benar-benar merealisasikan ‘ubudiyyah (peribadatan) kepada Allah hanya akan terganggu oleh syaithan di saat dirinya lengah saja, yakni saat dirinya tidak bisa menolak gangguan tersebut… saat itulah dia termakan hasutan syaithan dan melakukan pelanggaran.

dengan demikian, ia akan beralih ke kondisi berikutnya:
3- Yaitu begitu ia melakukan dosa, segera lah ia memohon ampun (beristighfar) kepada Allah. Ini merupakan solusi luar biasa saat seorang hamba terjerumus dalam dosa. Bila ia hamba yang bertakwa, ia akan selalu terbayang oleh dosanya, hingga dosa yang dilakukan tadi justeru berdampak positif terhadapnya di kemudian hari. Ibnul Qayyim lantas menukil ucapan Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harawi yang mengatakan bahwa konon para salaf mengatakan: “Seseorang mungkin melakukan suatu dosa, yang karenanya ia masuk Jannah; dan ia mungkin melakukan ketaatan, yang karenanya ia masuk Neraka”. Bagaimana kok begitu? Bila ALlah menghendaki kebaikan atas seseorang, Allah akan menjadikannya terjerumus dalam suatu dosa (padahal sebelumnya ia seorang yang shalih dan gemar beramal shalih). Dosa tersebut akan selalu terbayang di depan matanya, mengusik jiwanya, mengganggu tidurnya dan membuatnya selalu gelisah. Ia takut bahwa semua keshalihannya tadi akan sia-sia karena dosa tersebut, hingga dengan demikian ia menjadi takluk di hadapan Allah, takut kepada-Nya, mengharap rahmat dan maghfirah-Nya, serta bertaubat kepada-Nya. Nah, akibat dosa yang satu tadi, ia terhindar dari penyakit ‘ujub (kagum) terhadap keshalihannya selama ini, yang boleh jadi akan membinasakan dirinya, dan tersebab itulah ia akan masuk Jannah.

Namun sebaliknya orang yang melakukan suatu amalan besar, ia bisa jadi akan celaka akibat amalnya tersebut. Yakni bila ia merasa kagum dengan dirinya yang bisa beramal ‘shalih’ seperti itu. Nah, kekaguman ini akan membatalkan amalnya dan menjadikannya ‘lupa diri’. Maka bila Allah tidak mengujinya dengan suatu dosa yang mendorongnya untuk taubat, niscaya orang ini akan celaka dan masuk Neraka.

Demikian kurang lebih penuturan beliau dalam mukaddimah kitab tadi, semoga kita terinspirasi dengan tulisan yang bersahaja ini.

Penulis: Ustadz Sufyan Basweidan, MA

Memahami Pengertian Ibadah

Memahami tauhid tanpa memahami konsep ibadah adalah mustahil. Oleh karena itu mengetahuinya adalah sebuah keniscayaan. Penulis syarah Al-Wajibat menjelaskan, “Ibadah secara bahasa berarti perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan.” (Tanbihaat Mukhtasharah, hal. 28).

Adapun secara istilah syari’at, para ulama memberikan beberapa definisi yang beraneka ragam. Di antara definisi terbaik dan terlengkap adalah yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir). Maka shalat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang munkar, berjihad melawan orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan), berbuat baik kepada orang atau hewan yang dijadikan sebagai pekerja, memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al Qur’an dan lain sebagainya adalah termasuk bagian dari ibadah. Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga termasuk bagian dari ibadah kepada Allah.” (Al ‘Ubudiyah, cet. Maktabah Darul Balagh hal. 6).
Dari keterangan di atas kita bisa membagi ibadah menjadi tiga; ibadah hati, ibadah lisan dan ibadah anggota badan. Dalam ibadah hati ada perkara-perkara yang hukumnya wajib, ada yang sunnah, ada yang mubah dan adapula yang makruh atau haram. Dalam ibadah lisan juga demikian, ada yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Begitu pula dalam ibadah anggota badan. Ada yang yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Sehingga apabila dijumlah ada 15 bagian. Demikian kurang lebih kandungan keterangan Ibnul Qayyim yang dinukil oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam Fathul Majid.

Ta’abbud dan Muta’abbad bih
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam kitabnya yang sangat bagus berjudul Al Qaul Al Mufid menjelaskan bahwa istilah ibadah bisa dimaksudkan untuk menamai salah satu diantara dua perkara berikut:
1.Ta’abbud. Penghinaan diri dan ketundukan kepada Allah ‘azza wa jalla. Hal ini dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada Dzat yang memerintah dan melarang (Allah ta’ala).
2. Muta’abbad bihi. Yaitu sarana yang digunakan dalam menyembah Allah. Inilah pengertian ibadah yang dimaksud dalam definisi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang tersembunyi (batin) maupun yang tampak (lahir)”.
Seperti contohnya sholat. Melaksanakan sholat disebut ibadah karena ia termasuk bentuk ta’abbud (menghinakan diri kepada Allah). Adapun segala gerakan dan bacaan yang terdapat di dalam rangkaian sholat itulah yang disebut muta’abbad bihi. Maka apabila disebutkan kita harus mengesakan Allah dalam beribadah itu artinya kita harus benar-benar menghamba kepada Allah saja dengan penuh perendahan diri yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada Allah dengan melakukan tata cara ibadah yang disyari’atkan (Al-Qaul Al- Mufid, I/7).
Pengertian ibadah secara lengkap
Dengan penjelasan di atas maka ibadah bisa didefinisikan secara lengkap sebagai: ‘Perendahan diri kepada Allah karena faktor kecintaan dan pengagungan yaitu dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan oleh syari’at-Nya.’ (Syarh Tsalatsati Ushul, hal. 37).
Oleh sebab itu orang yang merendahkan diri kepada Allah dengan cara melaksanakan keislaman secara fisik namun tidak disertai dengan unsur ruhani berupa rasa cinta kepada Allah dan pengagungan kepada-Nya tidak disebut sebagai hamba yang benar-benar beribadah kepada-Nya. Hal itu seperti halnya perilaku orang-orang munafiq yang secara lahir bersama umat Islam, mengucapkan syahadat dan melakukan rukun Islam yang lainnya akan tetapi hati mereka menyimpan kedengkian dan permusuhan terhadap ajaran Islam.

Macam-macam penghambaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa penghambaan ada tiga macam:
  1. Penghambaan umum.
  2. Penghambaan khusus.
  3. Penghambaan sangat khusus.
Penghambaan umum adalah penghambaan terhadap sifat rububiyah Allah (berkuasa, mencipta, mengatur, dsb). Penghambaan ini meliputi semua makhluk. Penghambaan ini disebut juga ‘ubudiyah kauniyah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi melainkan pasti akan datang menemui Ar Rahman sebagai hamba.” (QS. Maryam [19] : 93). Sehingga orang-orang kafir pun termasuk hamba dalam kategori ini.
Sedangkan penghambaan khusus ialah penghambaan berupa ketaatan secara umum. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan hamba-hamba Ar Rahman adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati.” (QS. Al Furqan [25] : 63). Penghambaan ini meliputi semua orang yang beribadah kepada Allah dengan mengikuti syari’at-Nya.
Adapun penghambaan sangat khusus ialah penghambaan para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam. Hal itu sebagaimana yang Allah firmankan tentang Nuh ‘alaihissalam (yang artinya), “Sesungguhnya dia adalah seorang hamba yang pandai bersyukur.” (QS. Al Israa’ [17]: 3). Allah juga berfirman tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Dan apabila kalian merasa ragu terhadap wahyu yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad)…” (QS. Al Baqarah [2] : 23). Begitu pula pujian Allah kepada para Rasul yang lain di dalam ayat-ayat yang lain. penghambaan jenis kedua dan ketiga ini bisa juga disebut ‘ubudiyah syar’iyah (Al-Qaul Al-Mufid I/16, Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 38-39).
Di antara ketiga macam penghambaan ini, maka yang terpuji hanyalah yang kedua dan ketiga. Karena pada penghambaan yang pertama manusia tidak melakukannya dengan sebab perbuatannya. Walaupun peristiwa-peristiwa yang ada di dunia ini (nikmat, musibah, dsb) yang menimpanya bisa juga menyebabkan pujian dari Allah kepadanya. Misalnya saja ketika seseorang memperoleh kelapangan maka dia pun bersyukur. Atau apabila dia tertimpa musibah maka dia bersabar. Adapun penghambaan yang kedua dan ketiga jelas terpuji karena ia terjadi berdasarkan hasil pilihan hamba dan perbuatannya, bukan karena suatu sebab yang berada di luar kekuasaannya semacam datangnya musibah dan lain sebagainya (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 38-39).
***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi (abumushlih.com)
Artikel www.muslim.or.id

Menguak Hakikat Ibadah

Allah berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56).

Allah menciptakan kita untuk beribadah. Apakah makna ibadah?
Berikut ini kami nukilkan keterangan Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah di dalam Fath Al-Majid (hal. 17 cetakan Dar Ibnu Hazm). Beliau memaparkan :
Syaikhul Islam mengatakan, “Ibadah adalah melakukan ketaatan kepada Allah yaitu dengan melaksanakan perintah Allah yang disampaikan melalui lisan para rasul.” Beliau juga menjelaskan, “Ibadah adalah istilah yang meliputi segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi.”
Ibnul Qayyim mengatakan, “Ibadah berporos pada lima belas patokan. Barangsiapa dapat menyempurnakan itu semua maka dia telah menyempurnakan tingkatan-tingkatan penghambaan (ubudiyah). Keterangannya ialah sebagai berikut : Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Sedangkan hukum-hukum yang berlaku dalam kerangka ubudiyah itu terbagi lima : wajib, mustahab/sunnah, haram, makruh, dan mubah. Masing-masing hukum ini berlaku meliputi isi hati, ucapan lisan, dan perbuatan anggota badan.”
Al-Qurthubi mengatakan, “Makna asal dari ibadah adalah perendahan diri dan ketundukan. Berbagai tugas/beban syari’at yang diberikan kepada manusia (mukallaf) dinamai dengan ibadah; dikarenakan mereka harus melaksanakannya dengan penuh ketundukan kepada Allah ta’ala. Makna ayat tersebut (QS. Adz-Dzariyat : 56) adalah Allah ta’ala memberitakan bahwa tidaklah Dia menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Inilah hikmah penciptaan mereka.” Saya katakan (Syaikh Abdurrahman), “Itulah hikmah yang dikenal dengan nama hikmah syar’iyah diniyah.”
Al-’Imad Ibnu Katsir mengatakan, “Makna beribadah kepada-Nya yaitu menaati-Nya dengan cara melakukan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Itulah hakikat ajaran agama Islam. Sebab makna Islam adalah menyerahkan diri kepada Allah ta’ala yang mengandung puncak ketundukan, perendahan diri, dan kepatuhan.” Selesai ucapan Ibnu Katsir.
Beliau (Ibnu Katsir) juga memaparkan tatkala menafsirkan ayat ini (QS. Adz-Dzariyat : 56), “Makna ayat tersebut; sesungguhnya Allah ta’ala menciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Barangsiapa yang taat kepada-Nya akan Allah balas dengan balasan yang sempurna. Sedangkan barangsiapa yang durhaka kepada-Nya niscaya Allah akan menyiksanya dengan siksaan yang sangat keras. Allah pun mengabarkan bahwa diri-Nya sama sekali tidak membutuhkan mereka. Bahkan mereka itulah yang senantiasa membutuhkan-Nya di setiap kondisi. Allah adalah pencipta dan pemberi rezeki bagi mereka.”
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu mengatakan mengenai ayat ini, “Maknanya adalah tujuan-Ku (menciptakan mereka) adalah agar mereka Ku-perintahkan beribadah kepada-Ku.” Sedangkan Mujahid mengatakan, “Tujuan-Ku (menciptakan mereka) adalah untuk Aku perintah dan Aku larang.” Tafsiran serupa ini juga dipilih oleh Az-Zajjaj dan Syaikhul Islam.
Beliau (Ibnu Katsir) mengatakan, “Tafsiran ini didukung oleh makna firman Allah ta’ala, “Apakah manusia itu mengira dia dibiarkan begitu saja dalam keadaan sia-sia.” (QS. Al-Qiyamah : 36). Asy-Syafi’i menjelaskan tafsiran ‘sia-sia’ yaitu, “(Apakah mereka Ku-biarkan) Tanpa diperintah dan tanpa dilarang?!”…
Sampai di sini keterangan yang kami nukil dari Fath Al-Majid.
Dengan memperhatikan keterangan beliau di atas, dapat disimpulkan bahwa :
Pertama; Ibadah adalah tujuan hidup kita
Kedua; Hakikat ibadah itu adalah melaksanakan apa yang Allah cintai dan ridhai dengan penuh ketundukan dan perendahan diri kepada Allah
Ketiga; Ibadah akan terwujud dengan cara melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya
Dengan demikian orang yang benar-benar mengerti kehidupan adalah yang mengisi waktunya dengan berbagai macam bentuk ketaatan; baik dengan melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan. Sebab dengan cara itulah tujuan hidupnya akan terwujud. Semoga Allah memberikan taufik dan pertolongan-Nya kepada kita untuk menjadi hamba-Nya yang sejati; yang tunduk dan patuh kepada Rabb penguasa jagad raya, bukan menjadi budak hawa nafsu dan ambisi-ambisi dunia. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, permulaan bulan Dzulqa’dah 1429 H.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Mewujudkan Tujuan Hidup

Allah ta’ala menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Penafsiran Ulama
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah (wafat 597 H) menyebutkan empat penafsiran makna ayat ini:
  1. Maknanya adalah, “Kecuali supaya Aku perintahkan mereka untuk beribadah kepada-Ku.” Ini adalah penafsiran ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu dan yang dipilih oleh az-Zajaj rahimahullah
  2. Maknanya adalah, “Kecuali supaya mereka mengakui ubudiyah/penghambaan kepada Allah dalam kondisi senang maupun tidak senang.” Ini adalah penafsiran Ibnu ‘Abbasradhiyallahu’anhuma.
  3. Maknanya adalah, “Tidaklah Aku ciptakan hamba yang beribadah kepada-Ku kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” Ini adalah penafsiran Sa’id bin al-Musayyab. Imam adh-Dhahhak, al-Farra’, dan Ibnu Qutaibah juga mengatakan bahwa ayat ini khusus berbicara tentang orang-orang yang taat kepada-Nya. Pendapat ini pula yang dipilih oleh al-Qadhi Abu Ya’la
  4. Maknanya adalah, “Kecuali supaya mereka tunduk dan merendahkan diri kepada-Ku.” Karena ibadah secara bahasa berarti perendahan diri dan ketundukan. Semua makhluk tunduk kepada ketetapan Allah. Tidak ada satu makhluk pun yang keluar dari ketetapan-Nya. Inilah makna yang dipilih sekelompok ulama tafsir (lihat Zaad al-Masir fi ‘Ilmi at-Tafsir, hal. 1352)
Imam al-Baghawi rahimahullah (wafat 516 H) menyebutkan penafsiran lain tentang makna ayat ini:
  1. Maknanya adalah, “Kecuali supaya mereka mengenal (ma’rifat) kepada-Ku.” Ini adalah penafsiran Mujahid
  2. Maknanya adalah, “Kecuali supaya mereka mentauhidkan diri-Ku.” Orang beriman mentauhidkan Allah pada saat sempit maupun lapang. Adapun orang kafir hanya mentauhidkan Allah pada keadaan terjepit dan tertimpa kesusahan (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 1236)
Imam al-Qurthubi rahimahullah (wafat 671 H) menyebutkan penafsiran lain tentang ayat ini:
  1. Maknanya adalah, “Kecuali untuk Aku perintah dan Aku larang.” Ini juga penafsiran Mujahid.
  2. Maknanya adalah, “Kecuali supaya mereka beribadah dan taat kepada-Ku. Sehingga Aku akan memberikan pahala bagi yang beribadah dan memberikan hukuman bagi yang membangkang.” Ini adalah penafsiran ‘Ikrimah.
  3. Maknanya adalah, “Kecuali untuk Aku jadikan sebagai hamba.”
  4. Imam al-Qurthubi sendiri menyimpulkan pendapat-pendapat tersebut, “Makna ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ adalah agar mereka merendahkan diri, tunduk dan menghamba -kepada Allah-.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [19/507-508])
Kesimpulan Makna Ayat
Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat 774 H) menyimpulkan bahwa makna ayat di atas adalah, “Sesungguhnya Aku menciptakan mereka tidak lain untuk Aku perintahkan mereka beribadah kepada-Ku, bukan karena kebutuhan-Ku kepada mereka.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-Azhim [7/425])
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Makna ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku- adalah agar mereka mengesakan Aku (Allah, pent) dalam beribadah. Atau dengan ungkapan lain ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ maksudnya adalah agar mereka mentauhidkan Aku; karena tauhid dan ibadah itu adalah sama (tidak bisa dipisahkan, pent).” (lihat I’anat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/33])
Makna dan Cakupan Ibadah
Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah (wafat 1206 H) menjelaskan, bahwa pengertian yang mencakup segala bentuk ibadah adalah: taat kepada Allah dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya (lihat Syarh al-Jami’li ‘Ibadatillahi Wahdah karya Syaikh Muhammad Sa’id Ruslan hafizhahullah, hal. 6)
Syaikh Muhammad Sa’id Ruslan hafizhahullah menerangkan, bahwa ibadah memiliki dua poros utama yaitu kesempurnaan rasa cinta yang terkandung dalam kesempurnaan sikap perendahan diri. Hal ini sebagaimana telah diterangkan oleh Imam Ibnul Qayyimrahimahullah dalam al-Kafiyah asy-Syafiyah (lihat Syarh al-Jami’li ‘Ibadatillahi Wahdah, hal. 18)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat 728 H) menjelaskan, bahwa ibadah adalah sebuah istilah yang mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai oleh Allah, berupa ucapan dan perbuatan, baik yang batin/tersembunyi maupun yang lahir/tampak (lihat Syarh al-’Ubudiyah oleh Syaikh Abdul ‘Aziz ar-Rajihi hafizhahullah, hal. 4)
Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah menerangkan, “Dengan ungkapan lain, dapat dikatakan bahwa ibadah adalah melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Tercakup di dalamnya menunaikan kewajiban-kewajiban dan menjauhkan diri dari berbagai hal yang diharamkan. Melakukan hal-hal yang wajib dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan; yaitu dengan melakukan kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang bersifat batin maupun lahir. Meninggalkan hal-hal yang diharamkan, baik yang berupa ucapan maupun perbuatan, yang batin maupun yang lahir.” (lihat Syarh al-’Ubudiyah, hal. 5)
Dengan ungkapan yang lebih sederhana, dapat disimpulkan bahwa ibadah adalah melakukan segala sesuatu yang membuat Allah subhanahu wa ta’ala ridha (lihat al-Qamus al-Mubin fi Ishthilahat al-Ushuliyyin karya Dr. Mahmud Hamid ‘Utsman, hal. 204)
Pondasi Ibadah
Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah menjelaskan, bahwa ibadah dibangun di atas dua pondasi utama:
  1. Memurnikan amalan untuk Allah semata
  2. Meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ucapan, amalan, dan keyakinan (lihat Transkrip ceramah beliau Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 27)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang berharap berjumpa dengan Allah hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, makna ‘amal salih’ adalah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan ‘tidak mempersekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Rabbnya’ maksudnya adalah amalan yang tidak diniatkan kecuali untuk mengharap wajah Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Inilah dua pilar utama ibadah yang diterima di sisi Allah. Artinya, suatu amalan harus ikhlas karena Allah dan benar yaitu sesuai dengan syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/205])
Ikhlas Kepada Allah
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dengan mengikuti ajaran yang hanif dan supaya mereka mendirikan sholat serta menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan:
  1. Makna ‘tidaklah mereka diperintahkan’ yaitu dalam seluruh syari’at
  2. Makna ‘kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya’ yaitu mereka tujukan segala bentuk ibadah mereka -yang lahir maupun yang batin- dalam rangka mencari wajah Allah serta mendapatkan kedekatan diri di sisi-Nya
  3. Makna ‘mengikuti ajaran yang hanif’ yaitu berpaling dari semua agama yang menyelisihi agama tauhid (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [7/657])
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menjelaskan:
  1. Makna ‘dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya’ yaitu agar mereka bertauhid serta tidak beribadah kepada sesembahan selain-Nya
  2. Makna ‘mengikuti ajaran yang hanif’ yaitu berada di atas ajaran agama Ibrahim (lihatZaad al-Masir fi ‘Ilmi at-Tafsir, hal. 1576)
Imam al-Baghawi rahimahullah menjelaskan:
  1. Makna ‘tidaklah mereka diperintahkan’ maksudnya adalah orang-orang kafir
  2. Makna ‘kecuali untuk beribadah kepada Allah’ yaitu supaya mereka beribadah kepada-Nya
  3. Makna ‘dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya’ adalah sebagaimana tafsiran Ibnu ‘Abbas. Beliau berkata, “Tidaklah mereka diperintahkan di dalam Taurat maupun Injil kecuali untuk mengikhlaskan ibadah untuk Allah dan melaksanakan tauhid.”
  4. Makna ‘mengikuti ajaran yang hanif’ yaitu berpaling dari semua agama dan hanya condong (memeluk) agama Islam (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 1426)

Penulis: Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id